Rabu, 26 Oktober 2016

Artikel biokimia



1. Mikroskop “Resolusi-Super” untuk Deteksi Struktur Nano
    Oleh : Abi Sofyan Ghifari pada 02-05-2013
  
Para peneliti telah menemukan suatu cara untuk melihat struktur nano sintetik dan molekul menggunakan mikroskop optik resolusi-super tipe baru yang tidak membutuhkan zat warna fluoresen, menjadikannya alat yang praktis untuk digunakan pada riset biomedis dan nanoteknologi.
“Mikroskop optik resolusi-super ini telah membuka jendela baru pada dunia nanoskop,” ujar Ji-Xin Cheng, seorang associate professor teknik dan kimia biomedis dari Purdue University. Mikroskop optik konvensional dapat melihat objek berukuran tidak lebih kecil dari 300 nanometer (1 nanometer sama dengan sepermiliar meter), yang merupakan batasan yang disebut sebagai “limit difraksi”. Limit difraksi didefinisikan sebagai setengah dari panjang gelombang cahaya yang digunakan untuk melihat spesimen pada mikroskop. Bagaimanapun, peneliti berharap mikroskop dapat digunakan untuk melihat struktur molekul seperti protein dan lipid, dan juga struktur nano sintetik seperti nanotabung yang memiliki diameter beberapa nanometer.
“Limit difraksi merepresentasikan batasan fundamental dari resolusi pencitraan optik,” ujar Cheng. “Stefan Hell dari Max Planck Institute dan lainnya telah mengembangkan suatu metode pencitraan resolusi-super yang membutuhkan penandaan fluoresens. Di sini, kami mendemonstrasikan suatu skema baru yang mendobrak limit difraksi pada pencitraan optik pada spesimen non-fluoresens. Karena bebas penanda, maka sinyal gelombang dari objek dapat langsung dideteksi sehingga kami dapat mempelajari lebih jauh struktur nano tersebut.”
Penjelasan mengenai penemuan ini secara detail dibahas pada makalah riset yang tampil sejak hari Minggu (28 April 2013) di jurnal Nature Photonics. Sistem pencitraan ini, yang disebut saturated transient absorption microscopy (STAM) menggunakan trio pancaran laser, termasuk pancaran laser yang berbentuk seperti donat yang hanya memendarkan beberapa molekul tertentu secara selektif. Elektron pada atom dari molekul yang berpendar keluar sesaat menuju tingkat energi yang lebih tinggi atau disebut juga sebagai proses eksitasi, sementara elektron lain tetap berada pada keadaan dasar. Citra objek dibentuk menggunakan laser yang mampu membandingkan perbedaan antara molekul dalam keadaan tereksitasi dan keadaan dasar.
Para peneliti mendemonstrasikan sistem mikroskop tersebut dengan mengambil citra dari kepingan nano grafit yang memiliki lebar 100 nanometer. Sistem ini berpotensi besar pada studi nanomaterial, baik alami maupun sintetik. Riset selanjutnya di masa mendatang kemungkinan akan menyertakan laser dengan panjang gelombang yang lebih pendek. Ketika panjang gelombang cahaya memendek, peneliti dimungkinkan untuk meneliti objek yang lebih kecil secara lebih fokus.


2. Produksi Listrik dari Grafena dan Air Garam
Ditulis oleh Abi Sofyan Ghifari pada 29-07-2014
   Penemuan mengejutkan dan terdengar tak masuk akal datang dari China. Sebuah tim riset menghasilkan listrik hanya dengan menggerakkan air garam melewati lapisan-lapisan grafena (graphene). Melalui penemuan tersebut, mereka berhasil menciptakan energi ramah lingkungan yang bebas limbah, tanpa gas rumah kaca, dan tanpa reaksi pembakaran maupun ledakan dengan menggunakan salah satu material kimia yang paling melimpah di Bumi.
Secara kimiawi, grafena merupakan salah satu alotrop karbon yang terdiri atas susunan atom-atom karbon yang terikat membentuk pola heksagonal dalam sebuah lapisan dua-dimensi. Lapisan ini secara teknis memiliki ketebalan sama dengan ukuran atom karbon itu sendiri. Karena ketipisannya inilah grafena berinteraksi secara aneh dengan cahaya dan material lainnya.
Meskipun tipis grafena cukup dikenal akan kekuatannya untuk menahan beban pada satuan massa yang relatif rendah. Kekuatannya ini bahkan melebihi baja. Grafena juga merupakan alotrop dasar pembentuk alotrop karbon lainnya seperti grafit, nanotube karbon, dan fulleren. Dikarenakan sifat dasar karbon dan strukturnya yang terdiri atas lapisan, grafena merupakan material yang sangat konduktif sehingga digunakan secara luas dalam eksperimen produksi listrik.
Landasan ilmiah di balik fenomena tersebut sebenarnya cukup sederhana. Ketika tetesan air garam tidak bergerak pada sebuah lapisan grafena, muatan listrik terdistribusi secara merata dan seimbang pada kedua sisi grafena. Namun ketika tetesan tersebut bergerak melalui permukaan grafena, elektron-elektron pada air garam keluar dari satu lapisan grafena dan kemudian diserap oleh permukaan grafena lain di bawahnya. Pergerakan elektron-elektron sepanjang lapisan ini menghasilkan tegangan listrik yang dapat diukur. Semakin cepat air garam bergerak, semakin tinggi pula tegangan listrik yang dapat dihasilkan – meski total voltase yang dihasilkan masih cukup rendah yaitu sekitar 30 milivolt. Sebagai perbandingan, baterei standar ukuran AA dapat memproduksi listrik sebesar 1,5 volt.
Meski hanya menghasilkan tegangan dan daya listrik yang kecil, penelitian ini tetap memberikan suatu terobosan penting terhadap ilmu pengetahuan, terutama dalam memanfaatkan material dan energi melimpah yang belum dimanfaatkan secara maksimal, yaitu karbon, air garam, dan gravitasi.
Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan, penelitian ini akan semakin berkembang dengan digunakannya material maupun metode terbaru. Penelitian ini juga memiliki potensi untuk dikembangkan dalam skala yang lebih besar seperti halnya pembangkit listrik tenaga air, agar dapat menghasilkan listrik yang dapat dinikmati seluruh penduduk Bumi.

 

 

 

 

 

 

 

 

3. Mengapa es mengambang di atas air?

    Ditulis oleh Wahyudi pada 04-07-2010
Alasan mengapa es lebih ringan daripada air adalah massa es tertentu yang terjadi lebih kosong daripada ketika massa yang sama sebagai air. Hal ini terkait dengan “ikatan hidrogen”

    Ikatan hidrogen

Molekul air terdiri dari dua tom hidrogen (H) dan satu atom oksigen (O). Atom-atom hidrogen dan oksigen terikat dengan membagi electron mereka antara satu dan lainnya. Ikatan ini disebut “ikatan kovalen”
Bagaimanapun, karena atom oksigen menarik electron lebih kuat dari atom hidrogen, atom oksigen dalam molekul air sedikit lebih negative dan atom hidrogen sedikit lebih positif. Jadi molekul air yang berdekatan tertarik antara satu dengan yang lainnya melalui atom oksigen yang sedikit lebih negative dan atom hidrogen yang sedikit lebih positif. Interaksi ini disebut “ikatan hidrogen”. Ikatan hidrogen lebih lemah daripada ikatan kovalen, namun, ikatan jenis ini memiliki efek yang besar karena terdaat banyak ikatan hidrogen.

Struktur es dan air.

Es memiliki struktur intan karena ikatan hidrogen. Air tidak memiliki struktur yang demikian teratur, tai molekul air mendekat satu dan lainnya karena ikatan hidrogen.
Lihatlah struktur sebenarnya antara es dan air (lihat gambar di bawah, gambar diberikan oleh MathMol). Bola merah mewakili atom oksigen dan bola putih mewakili atom hidrogen.
     
Es Air
Terdapat ruang lebih banyak dalam es daripada dalam air! Inilah yang menyebabkan mengapa es lebih ringan daripada air. Karenanya es bisa mengambang di atas air.









4. Kelanjutan Penemuan Air di Bulan
    Ditulis oleh Masdin Mursaha pada 29-09-2009
      
Bukti kuat tentang adanya air di permukaan bulan telah ditemukan oleh tiga penelitian spektroskopis berbasis-satelit terpisah. Meskipun jumlah air yang ada kelihatannya kecil, namun ini dianggap berpotensi bermanfaat bagi para astronot yang mengunjungi bulan.
“Pemeriksaan-pemeriksaan sebelumnya hanya mendeteksi hidrogen dan tidak pernah dibuktikan dengan apa hidrogen tersebut terikat,” kata Roger Clark di US Geological Survey di Denver, yang juga terlibat dalam dua dari penelitian ini. “Sekarang telah dilaporkan pendeteksian ikatan kimia OH dan H2O.”
Carle Pieters di Brown University, US, dan timnya – yang anggotanya termasuk Clark – menganalisis data yang diambil selama berlangsungnya misi India’s Chandrayaan-1 di akhir tahun 2008. Spektrometer M3 (moon mineralogy mapper) NASA merekam serapan inframerah (IR) di dekat 2,8 sampai 3,0 mikrometer – yang konsisten dengan OH dan H2O – mendekati kutub lunar pada permukaan teratas dari bulan.
Clark selanjutnya menganalisis ulang data spektroskopis IR yang dikumpulkan pada pesawat Cassini di tahun 1999. Dia kembali mengidentifikasi serapan di dekat 3 mikrometer dekat ke kutub dan pada ketinggian rendah. Dia mengatakan bahwa jumlah air “yang terlihat” kelihatannya berkisar antara 10 sampai 1000 ppm.
   
Diduga bahwa ketika permukaan bulan terpapar terhadap ion-ion hidrogen dalam solar wind, oksigen terlepas dari mineral-mineral lunar dalam bentuk OH dan H2O
Dukungan tambahan untuk keberadaan air ini datang dari Jessica Sunshine di University of Maryland, US, dan rekan-rekannya yang mengumpulkan data di bulan Juni 2009 pada pesawat-satelit Deep Impact. Memenuhi permintaan tim Pieter mereka mengkaji tempat-tempat sama pada waktu yang berbeda dengan menggunakan spektrometer IR. Mereka mendeteksi OH dan H2O terikat yang menutupi banyak permukaan bulan.
Sunshine menambahkan bahwa pola harian yang diamati timnya menunjukkan bahwa pembentukan dan retensi OH dan H2O merupakan sebuah proses kontinyu. Temuan-temuan ini semakin membenarkan “solar wind theory” tentang mengapa ada air di bulan, tambah Sunshine. Teori ini menyebutkan bahwa ion-ion hidrogen dalam solar wind melepaskan oksigen, dalam bentuk OH dan H2O, dari permukaan bulan.
“Hasil Chandryaan-1 merupakan penemuan yang pertama tetapi instrumen M3 hanya mencakup sebagian panjang gelombang yang relevan,” kata Paul Lucey, seorang ahli dalam sains planet dan penginderaan jarak jauh di University of Hawaii. “Pengukuran Cassini mencakup semua panjang-gelombang relevan, sehingga mengkonfirmasi dan menguatkan temuan ini tetapi pada resolusi yang sangat rendah. Pengukuran Deep Impact juga mencakup kisaran panjang-gelombang yang diperulkan untuk konfirmasi, dan mampu mengukur tempat-tempat sama pada waktu-waktu yang berbeda, yang menunjukkan bahwa air tersebut sedang bermigrasi pada permukaan bulan.”
Untuk memberikan gambaran tentang kuantitas air yang ditemukan itu, Sunshines mengatakan: “Jumlah air yang kita bicarakan ini masih lebih kecil dari jumlah air yang terdapat dalam tanah padang pasir yang paling kering di Bumi.”
Para peneliti tertarik dengan ide untuk mengumpulkan air tersebut. “Ada kemungkinan sumber air statis dapat dijebak secara langsung oleh para astronot,” kata Lucey. Tetapi dia mengingatkan bahwa sumber tersebut akan sangat kecil dan memerlukan kolektor yang sangat besar. Disadur dari: chemistryworld















5. Bagaimana laba-laba sutra menyerap air
Ditulis oleh Awan Ukaya pada 28-05-2010

   
Laba-laba sutra merubah strukturnya saat menjadi basah, meningkatkan kemampuannya untuk menangkap air dari udara, suatu studi baru yang diusulkan oleh para ilmuwan Cina. Menggunakan wawasan dari pengamatan mereka terhadap laba-laba sutra alami, para peneliti berkesimpulan untuk menciptakan suatu sutra buatan yang mimiknya menyerupai kapabilitas penyimpanan air.
Kemampuan jaring laba-laba untuk menangkap dan menahan air, dengan hasil yang menakjubkan pada embun pagi, seringkali diperlakukan sebagai sesuatu yang indah namun kurang menarik disamping cerita betapa kekuatannya yang luar biasa. Tetapi Lei Jiang pada Chinese Academy of Sciences di Beijing tertarik untuk mendapatkan akar properti unik ini. Timnya memulai dengan meneliti dengan cermat citra pengamatan mikroskop elektron dari sutra yang dihasilkan oleh hackled orbweavers.
Menurut temuan mereka, struktur sutranya berubah saat terjadi kontak dengan uap air. ‘Gumpalan’ hydrophilic, longgar dari sutra yang sangat bagus, bertempat disekitar benang kering, mulai menyusut saat tetesan air memadatkan mereka. Tetesan air di tengah-tengah tempat tersebut kemudian ditarik menuju ‘simpul’ yang dihasilkan. Dua fitur tersebut, apa yang diusulkan oleh kalkulasi dari Jiang, mendorong tetesan tersebut menuju simpul tersebut. Pertama kali, suatu perbedaan di permukaan energi antara simpul yang kasar dan tempat halus diantara mereka, dan kedua adalah suatu perbedaan pada tekanan yang berperan pada sisi berlainan dari setiap tetesan saat mendaki lerengan menuju satu simpul.
Namun Fritz Vollrath, yang memelajari laba-laba sutra pada Oxford University di Inggris, tidak sependapa dengan teori  Jiang. Dia berpendapat bahwa laba-laba sutra harus kering agar berfungsi. ‘Jika Saya benar, maka penulisnya sedang memelajari  artefak, yang masih menarik, meskipun tidak ada fungsi biologinya,’ kata Vollrath. ‘Di lain pihak, jika penulisnya benar dan pada sutra yang khusus tersebut, pembasahan digunakan – barang kali untuk meningkatkan efisiensi penangkapannya – lalu tim ini telah menyingkap pilinan yang tidak disangka-sangka dalam sejarah, yang akan menarik banyak sekali perhatian dan penelitian selanjutnya.’
Citra mikroskopis optikal tetesan air tekait pada jaring laba-laba pada suatu kabut, dan di bawah ini, simpul kumparan/struktur yang bergabung pada laba-laba sutra buatan dari tim ini
Brent Opell, seorang ahli laba-laba pada  Virginia Tech di Virginia, Amerika Serikat, sama-sama berhati-hati dengan hasilnya, meski dia mengatakan bahwa ini masik pekerjaan eksperimental. ‘Implikasi [menangkap] yang membuat galur telah tersusun untuk menghasilkan pelembab bukanlah merupakan pandangan kebanyakan para arachnologist,’ katanya. ‘Tetapi studi ini dilakukan dengan baik dan kinerja pembuatan galur ini secara lengkap dijelaskan dan dimodelkan secara matematika.’
Apapun penjelasannya, Jiang mengatakan bahwa sutra buatannya – dibentuk oleh penyelubungan serat nilon dengan poly(methylmethacrylate)/N,N-dimethylformamide-ethanol, yang mengeringkan pada simpul kecil serupa dengan mereka yang ada pada laba-laba sutra sesungguhnya – yang mempunyai aplikasi penting. ‘Di lokasi yang mempunyai curah hujan sedikit, kita dapat menggunakan bahan ini untuk menangkap tetesan air dar udara,’ kata Jiang. ‘Saya pikir ini merupakan teknik yang sangat bermanfaat di waktu-waktu dekat  ini.’Hayley Birch
  Referensi : Y Zheng et al, Nature, 2010, DOI: 10.1038/nature08729.
Top of Form
Bottom of Form

Tidak ada komentar:

Posting Komentar